Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar terhadap perkara aqidah. Ada diantara mereka yang menyusun buku dalam hal aqidah dengan judul as-Sunnah, seperti as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad bin Hanbal, as-Sunnah karya al-Khallal, dan as-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim. Ada juga yang dinamai dengan asy-Syari’ah seperti yang ditulis oleh al-Aajurri. Ada pula yang diberi nama dengan Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah sebagaimana yang ditulis oleh al-Laalikaa’i. Ada juga yang diberi nama dengan at-Tauhid seperti karya Ibnu Khuzaimah dan at-Tauhid karya Ibnu Mandah, dan Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ada pula yang disebut dengan ‘Aqidah seperti yang ditulis oleh Abu Ja’far ath-Thahawi dan ‘Aqidah Wasithiyah oleh Ibnu Taimiyah. Ada juga yang disebut i’tiqad seperti Lum’atul I’tiqad karya Ibnu Qudamah al-Maqdisi (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syaikh al-Fauzan hafizhahullah, hal. 22)
Aqidah merupakan asas dalam agama. Aqidah merupakan kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Aqidah merupakan kandungan rukun pertama dari lima rukun Islam. Oleh sebab itu wajib untuk memberikan perhatian besar dan serius kepadanya dan harus mengenali apa saja yang bisa merusaknya sehingga seorang insan akan bisa berada di atas bashirah/ilmu yang nyata dan tegak di atas aqidah yang lurus. Apabila agamanya tegak di atas asas dan pondasi yang benar niscaya ia akan menjadi agama yang benar dan diterima di sisi Allah. Akan tetapi jika agama ini ditegakkan di atas aqidah yang goncang atau rusak niscaya agamanya menjadi tidak benar dan menyimpang. Oleh sebab itulah para ulama selalu memperhatikan perkara aqidah dan tidak bosan-bosan menjelaskannya dalam berbagai pelajaran dan kesempatan (lihat at-Ta’liqaat al-Mukhtasharah ‘ala al-‘Aqidah ath-Thahawiyah oleh al-Fauzan, hal. 23-24)
Ilmu tentang aqidah merupakan ilmu mengenai pokok-pokok agama (ushulud din). Kebutuhan segenap hamba terhadapnya jauh lebih besar daripada seluruh kebutuhan. Keterdesakan mereka terhadapnya jauh lebih mendesak daripada semua hal yang mendesak. Kebutuhan mereka terhadap aqidah jauh lebih besar daripada kebutuhan kepada makanan dan minuman. Bahkan jauh lebih besar daripada kebutuhan seorang insan terhadap nafas yang ada di dalam tubuhnya. Apabila seorang insan tidak mendapatkan makanan, minuman dan nafasnya maka matilah jasadnya -sementara kematian itu pasti akan dialaminya- dan tidaklah membahayakan matinya jasad jika hatinya lurus dan beriman. Adapun apabila dia tidak mendapatkan ilmu tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, syari’at dan agama-Nya -ringkasnya ilmu aqidah- niscaya akan matilah hati dan ruhnya. Dengan demikian jelaslah bagi kita tentang besarnya kebutuhan hamba kepada ilmu pokok-pokok agama ini. Sebab tidak ada kehidupan yang bahagia bagi hati kecuali dengan mengenal Rabbnya dan mencintai-Nya di atas segala hal (lihat al-Hidayah ar-Rabbaniyah fi Syarh al-‘Aqidah ath-Thahawiyah oleh Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah, 1/7)
Secara terminologi, yang dimaksud aqidah di sini adalah keimanan yang mantap terhadap Allah ta’ala dan tauhid yang wajib dipersembahkan kepada-Nya, iman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir serta mengimani hal-hal yang menjadi cabang dari pokok-pokok ini dan juga mengimani hal-hal lainnya yang termasuk dalam kategori ushul/pokok-pokok dalam agama (lihat It-haf Dzawil ‘Uquul ar-Rasyiidah bi Syarhil Bidayah fil ‘Aqiidah oleh Aiman Ali Musa hafizhahullah, hal. 25)
Islam itu sendiri merupakan kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid. Orang yang tidak mau pasrah kepada Allah artinya dia adalah orang yang sombong. Adapun orang yang berserah diri (menghamba) kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia adalah musyrik. Dengan demikian bisa kita simpulkan bahwa islam ini dirusak/dihancurkan oleh dua sebab utama; yaitu kesombongan dan syirik (lihat Syarh ad-Durus al-Muhimmah li ‘Ammatil Ummah oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 34)
Islam disebut sebagai agama tauhid karena ia dibangun di atas keyakinan bahwasanya Allah itu esa dalam hal kerajaan-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya yang tiada sekutu bagi-Nya, Allah juga esa dalam hal dzat dan sifat-sifat-Nya sehingga tiada tandingan bagi-Nya, Allah pun esa dalam hal ketuhanan dan hak untuk diibadahi sehingga tidak boleh ada sekutu bagi-Nya (lihat Syarh Mudzakkirah at-Tauhid oleh Syaikh Muhammad Raslan hafizhahullah, hal. 6)
Tauhid inilah kewajiban terbesar bagi segenap hamba. Tidak ada suatu perkara yang memiliki dampak-dampak yang indah dan keutamaan-keutamaan yang beraneka-ragam seperti halnya tauhid. Karena sesungguhnya kebaikan di dunia dan di akhirat itu semuanya adalah bagian dari keutamaan dan buah tauhid. Demikian pula dihapuskannya dosa-dosa dan ampunan merupakan salah satu buah dan manfaat yang timbul karenanya (lihat Syarh Mudzakkirah at-Tauhid, hal. 6)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa hikmah diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh kepada ibadah mereka. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, kalian adalah orang-orang yang fakir/butuh kepada Allah, sedangkan Allah Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Fathir : 15) (lihat Syarh Risalah Miftah Daris Salam bi Tahqiqi Syahadatail Islam oleh Syaikh Shalih bin Abdillah al-‘Ushaimi hafizhahullah, hal. 8)
Allah menciptakan kita tidak untuk kesia-siaan. Allah ciptakan kita untuk sebuah tujuan yang sangat agung. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; Siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Allah juga berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami.” (al-Mu’minun : 115). Allah menciptakan kita untuk diberi ujian dan cobaan; apakah kita beribadah kepada Allah semata ataukah kita justru mengangkat sesembahan tandingan selain-Nya (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul oleh Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah, hal. 29-30 cet. Maktabah Darul Hijaz)
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian..” sampai pada “maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu sementara kalian mengetahui.” (al-Baqarah : 21-22). Karena itulah Allah mengutus para rasul untuk menyerukan kepada umatnya ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’. Oleh sebab itu para ulama menafsirkan perintah beribadah -sebagaimana disebutkan dalam surat adz-Dzariyat : 56- maknanya adalah supaya mereka bertauhid. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah yang benar kecuali jika disertai tauhid. Apabila ibadah tercampur dengan syirik niscaya ia menjadi rusak. Barangsiapa beribadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah dia bukanlah orang yang dinilai beribadah kepada Allah (lihat Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah, hal. 13-14)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Maka apabila seorang mukmin mengetahui bahwasanya tauhid apabila tercampuri dengan syirik maka hal itu akan merusaknya. Sebagaimana hadats merusak thaharah. Maka dia pun mengerti bahwa dirinya harus mengenali hakikat tauhid dan hakikat syirik supaya dia tidak terjerumus dalam syirik. Karena syirik itulah yang akan menghapuskan tauhid dan agamanya. Karena tauhid inilah agama Allah dan hakikat ajaran Islam. Tauhid inilah petunjuk yang sebenarnya. Apabila dia melakukan salah satu bentuk kesyirikan itu maka Islamnya menjadi batal dan agamanya lenyap…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah, hal. 11)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum kamu -Muhammad- seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (al-Anbiyaa’ : 25). Ayat ini menunjukkan bahwa setiap nabi yang diutus oleh Allah memerintahkan beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu pun. Sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36) (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 5/338)
Di dalam kalimat ‘sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’ terkandung itsbat/penetapan dan nafi/penolakan. Yang dimaksud itsbat adalah menetapkan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Dan yang dimaksud nafi adalah menolak sesembahan selain Allah. Kedua hal inilah yang menjadi pokok dan pilar kalimat tauhid laa ilaha illallah. Dalam ‘laa ilaha’ terkandung nafi dan dalam ‘illallah’ terkandung itsbat. Sebagaimana dalam ‘sembahlah Allah‘ terkandung itsbat dan pada kalimat ‘jauhilah thaghut’ terkandung nafi (lihat at-Tam-hiid, hal. 14)
Thaghut ialah segala hal yang menyebabkan seorang hamba melampaui batas dalam bentuk sesuatu yang disembah, diikuti, atau ditaati. Demikian intisari keterangan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah sebagaimana dinukil dalam ad-Dur an-Nadhidh (hal. 11)
Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘setan’. Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhu menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘para dukun yang setan-setan turun kepada mereka’. Imam Malik rahimahullah menafsirkan ‘thaghut’ dengan ‘segala sesembahan selain Allah’ (lihat dalam Fat-hul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 32)
Segala yang disembah selain Allah disebut sebagai ‘thaghut’ baik berupa patung, berhala, kuburan, atau tempat keramat. Akan tetapi apabila orang atau makhluk yang disembah tidak ridha dengan penyembahan itu maka ia tidak dinamakan thaghut. Semacam Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, hamba-hamba yang salih seperti Hasan dan Husain serta para wali Allah, mereka tidak disebut sebagai thaghut. Meskipun demikian penyembahan kepada mereka tetap disebut ibadah kepada thaghut yang dalam hal ini adalah setan; karena sesungguhnya setan itulah yang memerintahkan perbuatan itu (lihat I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitab at-Tauhid, 1/36)
Di dalam ayat ini juga terdapat faidah bahwa hakikat ibadah yang harus dilakukan oleh setiap insan -yang hal ini merupakan tujuan hidup mereka- adalah ibadah yang bersih dari syirik -dalam bentuk ibadah kepada selain-Nya apa pun bentuknya- oleh sebab itu amal-amal tidak sah tanpa berlepas diri dari segala penyembahan kepada selain-Nya (lihat Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin, hal. 4)
Oleh sebab itu dalam merealisasikan tauhid tidak cukup hanya dengan meninggalkan syirik. Akan tetapi harus melakukan sesuatu yang lebih daripada itu, yaitu harus berlepas diri dari syirik dan para pelakunya. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang berkata kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa-apa yang kalian sembah selain Allah…” (al-Mumtahanah : 4) (lihat Maqashid Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Dr. ‘Isa bin Abdillah as-Sa’di hafizhahullah)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian teladan yang indah pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya. Yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian dan telah tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah semata…” (al-Mumtahanah : 4)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sungguh telah disyari’atkan terjadinya permusuhan dan kebencian dari sejak sekarang antara kami dengan kalian selama kalian bertahan di atas kekafiran, maka kami akan berlepas diri dan membenci kalian untuk selamanya “sampai kalian beriman kepada Allah semata” maksudnya adalah sampai kalian mentauhidkan Allah dan beribadah kepada-Nya semata yang tiada sekutu bagi-Nya dan kalian mencampakkan segala yang kalian sembah selain-Nya berupa tandingan dan berhala.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8/87)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah, adapun syirik dalam hal rububiyah secara umum hal ini tidak ada/tidak terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Demikian sedikit catatan yang bisa kami kumpulkan, semoga bisa bermanfaat bagi segenap kaum muslimin di mana pun berada. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
—